Rabu, 10 November 2010

Etika Pasar Bebas

Etis dan sehat tidaknya iklim bisnis, sangat ditentukan oleh sistem sosial politik yang dianut suatu negara. Supaya bisnis dapat dijalankan secara baik dan etis, dibutuhkan pula perangkat hukum yang baik dan adil. Harus ada aturan main yang fair, yang dijiwai oleh etika dan moralitas. Aturan main ini merupakan positivasi nilai-nilai moral dan menjadi pegangan konkret bagi semua pelaku bisnis. Artinya, aturan bisnis ini berlaku bagi semua pelaku bisnis dan mereka semua harus tunduk padanya. Kalau tidak, bisnis sulit bisa dijalankan secara baik dan etis.

Kendati hukum sangat penting, hukum hanya berfungsi untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi bisnis yang baik dan etis. Karena itu, hukum sendiri tidak memadai. Hukum menunjang moralitas dengan menciptakan ruang, peluang, dan iklim yang kondusif bagi praktek bisnis yang baik dan etis. Untuk mencari sistem sosial, politik dan ekonomi yang kondusif bagi praktek bisnis yang etis, perlunya pembahasan tentang keunggulan sistem ekonomi pasar dan peran pemerintah dalam sistem ekonomi pasar tersebut. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa ekonomi pasar adalah sistem-sosial-politik-ekonomi yang paling memungkinkan praktek bisnis yang etis.

Iklan dan Dimensi Etisnya

Salah satu topik dari etika bisnis yang banyak mendapat perhatian sampai sekarang, yaitu mengenai iklan. Sudah umum diketahui bahwa abad kita ini adalah abad informasi. Iklan memainkan peran yang sangat penting untuk menyampaikan informasi tentang suatu produk kepada masyarakat. Karena kecenderungan yang berlebihan untuk menarik konsumen agar membeli produk tertentu dengan memberi kesan dan pesan yang berlebihan tanpa memperhatikan berbagai norma dan nilai moral, iklan sering menyebabkan citra bisnis tercemar sebagai kegiatan tipu menipu, dan karena itu seakan antara bisnis dan etika ada jurang yang tak terjembatani.
Kebudayaan masyarakat modern adalah kebudayaan massa, kebudayaan serba instant dan kebudayaan serba tiruan. Iklan itu sendiri pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang bermaksud untuk mendekatkan barang yang hendak di jual kepada konsumen. Dengan ini iklan berfungsi mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis adalah agar barang yang telah dihasilkan bisa di jual kepada konsumen. Pada hakikatnya secara positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang konsumen dapat dijual kepada konsumen.

Minggu, 11 April 2010

Ibu Menyusui Jarang Terkena Kanker Payudara

Ibu Menyusui Jarang Terkena Kanker Payudara

BANDUNG — Selain baik bagi kecerdasan otak anak, menyusui juga dapat mengurangi risiko terkena kanker payudara bagi sang ibu, kata dr Dradjat R Suardi, spesialis kanker payudara.

“Ibu menyusui dapat mengurangi risiko tekena kanker payudara sebesar 10-15 persen,” katanya pada peresmian Yayasan Kanker Payudara Jawa Barat di Bandung.

“Pupuk” kanker adalah hormon estrogen dalam tubuh. Ketika masa hamil dan menyusui, muncul hormon progesterone. Hormon ini kemudian meningkat dan melakukan proteksi, sehingga hormon estrogen tidak lagi dominan,katanya.

Ia menjelaskan, jika sang ibu menyusui setelah melahirkan, maka terdapat jangka waktu 27 bulan bagi sang ibu dimana hormon estrogen tidak dominan dalam tubuh. Dikatakannya, bahwa dalam jangka waktu tersebut, risiko ibu terkena kanker payudara berkurang.

Meskipun pupuk kanker berasal dari hormon estrogen, tidak berarti kaum pria terhindar dari risiko kanker payudara.

Dalam tubuh pria juga terdapat hormon estrogen meskipun kadarnya tak sebanyak yang terkandung dalam tubuh wanita. “Laki-laki itu juga punya kelenjar payudara, hanya saja tidak berkembang seperti perempuan,” katanya lagi.

Risiko pria terkena kanker payudara adalah sebesar 1 persen. Gejala-gejala yang timbul pada pria yang terkena kanker ini serupa dengan wanita, seperti munculnya benjolan di payudara dan keluar cairan dari puting.

Umumnya gejala kanker payudara pada pria lebih mudah dikenali dibandingkan dengan wanita. “Kalau ada benjolan pada payudara lelaki akan lebih mudah terlihat, karena payudara mereka tidak berkembang seperti perempuan,” tambahnya.

- ant/ahi ::republika::

Bagaimana kriteria menilai tulisan baik atau buruk?

Bagaimana kriteria menilai tulisan baik atau buruk?
Oleh: ASM Romli

Publikasi 29/01/2003 10:44 WIB
Sumber: www.eramuslim.com
Assalamu'alaikum Wr.Wb

Sebelumnya perkenalkan, saat ini kami memegang amanah sebagai ketua divisi datif yang bertugas untuk mengambil informasi dan menyebarkannya di seluruh mahasiswa di jurusan kami, yaitu Departemen Teknik Kimia ITB. Lembaga da'wahnya bernama GAMISTEK ITB.

Contoh kegiatan kami berupa buletin Al-Iftitah dan mading kampus. Berkaitan dengan tugas kami tersebut, tentunya kami memerlukan bantuan kakak-kakak sekalian di BATIC dalam hal yang berkaitan dengan jurnalistik.
Pertanyaan saya:

1. Kriteria apa sajakah yang dapat menyatakan suatu tulisan itu baik atau buruk?
2. Hal-hal apa sajakah yang diperlukan seseorang untuk menulis?
3. Bagaimana caranya agar membuat orang tertarik untuk ikut dalam suatu kegiatan tertentu, atau tertarik untuk membaca sebuah artikel?
4. Jika kami ingin mengadakan pelatihan jurnalistik, dan kami ingin agar kakak-kakak sekalian yang menjadi instrukturnya, bagaimana prosedurnya?
Atas bantuan kakak-kakak sekalian, kami ucapkan terima kasih.
Assalamu'alaikum Wr.Wb
Zulfan Adi Putra zulfan169@om


Wa’alaikum salam wr. wb.

1. Tulisan yang baik adalah yang mudah dimengerti, informasi dan pesannya jelas, menggunakan bahasa jurnalistik, menaati kaidah bahasa, bahasannya sistematis, judulnya menarik, dan mengandung kebenaran. Kriteria lainnya, tulisan yang baik adalah yang memenuhi nilai berita (news value), yakni aktual, faktual, penting, dan menarik. Tulisan yang buruk tentu yang memiliki kriteria sebaliknya dari tulisan yang baik tersebut.

2. Hal-hal yang diperlukan seseorang untuk menulis adalah niat, motivasi, ide, referensi bagi pengembangan ide dan penulisannya, mampu berbahasa tulisan dan menguasa bahasa jurnalistik, suka membaca untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan mengasah daya analisis serta menambah referensi. Selain itu, penulis mampu menyesuaikan gaya penulisan dan gaya bahasanya dengan visi, misi, dan karakteristik pembacanya. Selengkapnya tentang hal ini, baca deh buku saya Panduan Menjadi Penulis (BATIC PRESS, 2002) dan buku saya yang terbaru berjudul Jurnalistik Terapan (BATIC-PRESS 2003).

3. Agar orang tertarik untuk ikut dalam suatu kegiatan: gencarkan publikasi atau promosi, beri rangsangan atau motivasi, dan meyakinkan manfaat yang bisa diperolehnya. Agar orang tertarik untuk membaca sebuah artikel, penuhi kriteria tulisan yang baik seperti pada poin 1.

4. Prosedurnya mengundang instruktur dari BATIC mudah saja, kirimkan proposal atau undangan ke BATIC di Jl. Dalemkaum 130-B Bandung, Tlp./Fax. (022) 4263193.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

ASM. Romli

Cerpen Hari Ibu

Hati Ibu - Cerpen Hari Ibu


Aku melangkah tergesa. Tak sabar agar segera sampai di rumah. Dalam benakku tergambar senyum mengambang di bibir Ayah. Membayangkan senyum Ayah kedua kaki jenjangku semakin gesit berloncatan.
“Aku menang lomba menulis cerpen, yah,” ucapku begitu menginjak teras sambil memamerkan piala di tanganku.
Ayah menurunkan koran yang sedang dibacanya lalu menatapku sebentar, setelah itu membaca lagi.
Melihat wajah datar Ayah senyum di bibirku surut. Bergegas aku masuk rumah, menemui ibu.

“Ibu,” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Ibu,” ulangku.
Masih bisu. Kucari ke kamar, tak ada, di dapur aku juga tak menemukan ibu.
Kutinggalkan dapur lalu masuk kamar. Kutaruh piala kuning keemasan itu di atas meja belajarku. Kurebahkan tubuh di kasur sambil memejamkan mata. Tapi baru beberapa menit aku rebahan sepasang telingaku mendengar suara ibu dari luar.

“Dira mau hadiah apa?”
“Dira minta dibelikan sepeda motor,” suara Dira, kakakku.
“Keinginanmu nanti ibu sampaikan pada ayah,” sahut ibu.
“Dengan atau tanpa persetujuan ayah Dira harus punya motor,” Dira ngotot.
Pelan-pelan kuseret langkah ke luar kamar. “Ibu, dari mana?” tanyaku.
“Dari MP. Dira juara satu lomba fashion di Mall Pekanbaru,” kata ibu dengan mata berbinar.
Aku tersenyum sambil menyalami Dira.

“Itu apa?” tanya ibu melihat piala di tanganku.
“Farah juara dua lomba menulis cerpen antar fakultas,” kataku.
Ibu diam.
“Boleh di pajang di lemari depan, Bu?”
Ibu menggeleng, “Disimpan di kamar saja. Lemari depan khusus tempat piala-piala milik Dira,” tegas ibu.
Ada perih di ujung hatiku.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu aku membawa satu tas besar pakaian untuk menginap di kost Ummu, teman serujusanku. Jarak kost Ummu hanya beberapa meter dari kampus.
“Sudah bilang sama ibu mau nginap di sini?” tanya Ummu.
Aku menggeleng, “Ibu tidak akan kehilangan meskipun aku mati.”
“Jangan bicara seperti itu.”

“Ibu baru ribut kalau Dira yang hilang.”
“Jangan terus kau pupuk cemburumu.”
“Aku tak akan cemburu andai mereka tak pilih kasih.”
“Mungkin seperti itu cara mereka menyayangi kalian.”
“Entah,” kataku malas.
Aku membalikkan tubuh memunggungi Ummu. Diam-diam kuseka mataku yang basah.

***

Seperti dugaanku ibu tak peduli meski aku tak pulang berhari-hari. Ayah pun tak risau meski anak gadisnya tak memberi kabar.
“Ummu, aku minta izin untuk tinggal di sini satu minggu lagi,” kataku setelah beberapa hari berselang.
“Aku boleh saja. Tapi kau kasih kabar dulu ke ortu,” sahut Ummu.
“Tak perlu, Mu.”

Melihat kerasku Ummu tak bersuara. Aku bertekad akan pulang jika ibu menjemput dan memintaku pulang dengan penuh kelembutan. Seperti yang ibu lakukan beberapa tahun yang lalu terhadap Dira, saat gadis itu ikut kemah bersama organisasi pramukanya di tengah hutan. Saat berhari-hari Dira tak pulang ibu luar biasa panik. Kemudian ibu meminta ayah menyusul Dira. Ketika tiba di rumah Dira disambut bagai ratu, syukuran besar-besaran lagi-lagi digelar karena tak terjadi apa-apa terhadap gadis tinggi semampai itu.
Saat ingatanku menerobos ke masa lalu tiba-tiba handphoneku bergetar, nomor rumah. Aku berharap itu ibu.
“Ibu masuk rumah sakit, Non,” terdengar suara Bik Warsih, pembantu di rumah kami.
“Kapan? Kenapa?” tanyaku bertubi-tubi.

“Sejak dua hari yang lalu…”
“Kenapa saya baru dihubungi sekarang?” potongku.
“Nomor non Farah tidak bisa dihubungi dari kemarin.”
Aku menelan ludah pahit. Menyesal mematikan handpone selama dua hari ini. Begitu sambungan ditutup aku bergegas ke rumah sakit.

Saat tiba di ruangan icu kulihat tubuh ibu dibalut selang infuse. Aku menangis melihat kondisi ibu.
“Ibu sakit apa?” tanyaku pada ayah yang memegangi lengan ibu.
“Dua hari yang lalu kaki ibu terpeleset saat mau ke luar kamar mandi.”
“Lalu…” kejarku tak sabar.

Ayah diam sambil menyeka matanya yang basah. Aku menunggu.
“Kepala ibu pecah, darah menyembur, dokter bilang ibu harus dioperasi. Tetapi sejak dioperasi ibu belum sadar sampai sekarang.”
Aku merinding mendengarnya.

***

Ini sudah memasuki pekan kedua, tapi kondisi ibu tidak ada memperlihatkan perkembangan berarti.
Kugenggam jemari ibu erat-erat. Pelan tangan itu bergerak. Aku tersentak. Kulihat bibir ibu juga bergerak. Seperti mengeluarkan suara meski tak jelas. Kudekatkan telingaku ke bibir ibu.
“Farah,” ucap ibu.

Aku tak yakin pada pendengaranku.
Hening. Aku semakin mendekatkan telingaku, menunggu perempuan itu memanggilku. Tapi mulut itu tak lagi bersuara. Namun rasa gembira tetap menyergapku.
“Dimana Dira dan ayahmu?” ibu bertanya tiba-tiba.
“Mereka di luar, biar…” gegas aku beranjak dari pembaringan ibu.
“Jangan!” cegah ibu.
Aku berbalik.

“Saat ini ibu ingin berdua saja denganmu.”
Aku menoleh. Menduga-duga. Kulihat wanita itu menarik nafas.
“Ibu tahu kau cemburu pada Dira. Ibu tak pernah merayakan apapun saat kau meraih sesuatu.”
Sunyi sesaat.

“Ketahuilah, Nak. Biaya syukuran itu mahal, itulah sebabnya ibu hanya membuatnya untuk Dira,” kata ibu dengan mata bertelaga.
Aku diam saja.
“Jika perhatian ibu lebih besar pada Dira karena menurut ibu Dira tak sekuat kau.”
“Ibu menyayangiku?” tanyaku dengan suara bergetar.
Ibu tak segera menjawab. Pelan wanita itu bangkit seraya memelukku, “Tak ada orang tua yang tak sayang anaknya,” ucap ibu diantara isaknya.

Meski semula enggan, pelan-pelan aku membalas pelukan ibu. Beberapa saat tak ada suara. Kurasakan ibu semakin mempererat pelukannya. Lama. Namun saat aku melerai pelukan, kudapati ibu tak lagi bergerak. Tubuhnya sedingin es.

***

Hari ini 28 Desember. Hari jadi ibu. Gundukan tanah di depanku masih merah. Kuelus nisan ibu. Mengingat saat-saat terakhir bersama ibu setumpuk cemburuku pada Dira lenyap. Pelan kutengadahkan wajah menatap langit, dalam diam aku berdoa agar langit menjaga ibu dari atas, “Selamat ulang tahu, Bu,” bisikku.

* Desi Sommalia Gustina
Mahasiswi UIR, Pekanbaru.

Tabir Senja di Dusun Kecil

Tabir Senja di Dusun Kecil


Kidung bulan di kaki langit
Mengalun tembang mentari
merah saga
Menarik selimut langit kelam
sang kegelapan

Siang meronta, dibalik bayangan
megah kerdip bintang
di atas tanah bulan sabit
desa batang hari

Dusun secuil gambut
senja merona kian menghujam
lenyap dalam cerita
bersama surya
timbul tenggelam

Karya: Muhammad
Siswa SMAN 3 Bengkalis

puisi yang berjudul Sahabat yang Hilang

Sahabat yang Hilang


Ada sahabat yang hilang
Yang sering menjengukku dengan pena-pena tajamnya
Membangunkanku dengan syair-sayir lugunya

Malam tadi mimpiku bertemu mimpinya
Mungkin ia pedih dalam kesendirian
Menyusur gelap tak berbatas
Mengutip sepi tak terperi
Hingga sehelai surat ia selipkan dipejamku

Pagi ini kutemukan penanya tergeletak di pinggir jalan
Menunggu tuan yang siap memungutnya
Akulah dia…

Karya: Sugiarti
Pengelola Bulletin Ar-Royyan UNRI